#FFRABU – SELAMAT MALAM DAN BERISTIRAHATLAH DENGAN TENANG

5

Kukecup kening istriku, setelah sebelumnya kudekap dengan lama. Kupastikan ia menyesap habis teh hangat yang sengaja kusiapkan khusus untuknya.

“Kamu sehat?” tanyanya.

“Kamu tidur gih! Selamat malam!” balasku, “… dan beristirahatlah dengan tenang!” batinku sembari menahan rasa sakit hati mengingat tentang perselingkuhannya dengan Samsul, si tetangga jahanam.

***

Ia mengecup lembut keningku, setelah sebelumnya mendekapku lama. Tingkahnya agak aneh, tapi sebenarnya aku sudah tidak peduli, sejak pengkhianatannya bermain nakal dengan Sarah, rekan kerjanya.

“Kamu sehat?” tanyaku.

“Kamu tidur gih! Selamat malam!” katanya.

“Selamat malam,” balasku, “… dan beristirahatlah dengan tenang!” batinku, sembari memastikan kopi di meja sebelah ranjang sudah habis diminumnya.   

***

~Sentani, 24 Juni 2015~

*Booo, akhirnya ngeposting FF lagi, hvft..

OBROLAN KOPI DAN RENCANA PERJALANAN

3

Sumber Gambar

Aku terus mengaduk kopiku searah putaran jarum jam sementara ia asyik bercerocos.

“Inget gak pas kamu bilang suka sama aku? Hahaha, kamu harus lihat deh betapa meronanya pipimu!” serunya bersemangat.

Ia terus bercerita, kuamati bibirnya yang seolah-olah bergerak melambat mengikuti irama adukan kopiku.

“Kamu kok diam sih?” ia mulai merajuk.

“Gak papa, aku hanya suka memandangimu berbicara.”

“Ish, apa asyiknya. Lalu, akan ke mana kita liburan bulan depan?” tanyanya antusias.

“Kamu yang buat planning-nya, aku ikut saja!”

“Aish, kamu ini tidak bersemangat sekali!”

“Bali?”

“Bali lagi? Sudah dua puluh satu kali aku ke sana kalo dinas kantor dihitung!”

“Batam?”

“Boleh. Hmm, tapi jangan deh. Rencananya kantor mau buat gathering di sana.”

“Hmmm, luar negeri nih?”

“Kamu tahu aku lebih cinta Indonesia!”

“Baiklah. Lombok?”

“Astaga, bulan lalu aku baru saja dari sana bareng Salim. Ingat kan?”

“Ya… Ya… Kalau begitu, Raja Ampat?”

“Papua? Hmm..”

“Bagaimana?”

Deal! Itinerary-nya aku yang urus!”

Deal!

“Oke, Sayang. Aku harus pulang. Salim, suamiku sudah menunggu di lobi! Bye!”

Ia berdiri, mencium pipiku dan berlalu.

Tanganku berhenti mengaduk kopi.

Lalu, semuanya berhenti bergerak.

Kuaduk kembali berlawanan arah jarum jam.

“Inget gak pas kamu bilang suka sama aku? Hahaha, kamu harus lihat deh betapa meronanya pipimu!” serunya, lagi.

***

~ HI, 6 April 2015, Pullman Jakarta ~

*Menjawab tantangan Febriyan Lukito, FF tema Kopi, genre romance fantasy*

Fragmen Manusia

10

Aku terlahir kembali menjadi Ariya.
Raga ini yang dulu kudamba-damba. Cerdas, tampan, kaya raya dan bersahaja.
Namun, aku tidak bahagia, Ariya tidak bahagia.
Menjadi Ariya, aku terlalu sibuk mengejar karier, menjaga hubungan sosial dengan topeng-toping munafik.
Kau harus menikah, usiamu sudah matang. Begitu saran San, sahabat Ariya-sahabatku sekarang.
Bagaimana aku bisa menikah, jika standarku terhadap wanita sangat tingginya. Wanita-wanita yang mendekati Ariya hanya mengincar harta, bukan mencari cinta. Entahlah, akupun belum punya banyak waktu untuk memikirkan semuanya, ujarku yang keluar dari mulut Ariya.
San tidak menanggapi lagi, ia hanya berujar satu hal sebelum menutupi pembicaraan, sejak kecelakaan itu aku berubah, katanya.
***
Tuhan mungkin lupa menghapus memoriku. Aku masih ingat betul bagaimana kehidupanku sebelumnya.
Namaku dulu Agus. Gengsiku terlalu besar untuk mengaku sebagai pengemis. Namun, masih kurasa betul bagaimana aku makan dari sisa-sisa sampah pesta. Kadang kumuntahkan tiba-tiba jika suatu kali aku menemukan ulat merayap di sebelah nasi yang telah mulai menguning. Akhirnya, toh aku mulai terbiasa.
Masih kurasa juga bagaimana malasnya Agus, iya aku maksudku. Bukan, aku bukannya malas, tapi aku tak mampu. Aku tak punya kompetensi dan kapabilitas. Otakku terlalu lambat untuk berpikir sebagai orang kantoran, sedangkan ototku terlalu lemah untuk bekerja menjual tenaga.
Maka kepada siapa lagi aku harus meminta pertolongan?
Iya,kepada Tuhan.
Setiap hari aku berdoa pada-Nya, meminta di kehidupan selanjutnya aku tidak seperti ini. Aku benci menjadi seperti ini.
Lalu, suatu hari ketika, aku mencari makan di tempat biasa. Secara tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang hilang kendali dan menabrakku sehingga selanjutnya aku hanya melihat cahaya yang sangat terang.
Tak lama, aku sadarkan diri. Dan telah berada di dalam mobil dengan kondisi kepala sedikit berdarah akibat terbentur pada setir. Di depan sana, kulihat jasadku meregang nyawa, jasad Agus.
***
San, benar. Sejak kecelakaan itu Ariya berubah.
Tuhan, aku ingin kembali seperti dulu saja. Doaku.
Tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara berisik dari arah ruang tamu rumah besarku. Kususul suara gaduh itu, dan mendapati seorang gembel lusuh dengan linggis di tangannya. Satu pukulan telak menghantam kepalaku.
Selanjutnya, bisa kau tebak.
Iya, kini aku berada dalam raga orang yang sangat bau itu.

~HI, 24 Desember 2014, Excelso Jayapura~

CERITA EMPAT MATA

17

Prompt 69 - Indah Lestari

Matamu candu.
Sudah banyak yang selalu bilang begitu, tak mempan!
Aku serius.
Aku juga serius.
Matamu biru kelabu.
Matamu pun biru kelabu.
Bulu matamu lebih lentik.
Apa bedanya denganmu? Tak kau lihat lentik begitu?
Matamu sakti, bisa melihat hantu.
Apa istimewanya bisa melihat hantu?
Kau bisa melihatku.
Apa istimewanya aku bisa melihatmu?
Bisakah kau sedikit tertarik denganku?
Secara fisik, tampilanmu tidak menarik. Ini karena aku punya urusan saja denganmu.
Kau tega.
Hahaha, belum pernah kulihat setan merajuk.
Aku setan yang punya perasaan.
Berarti kau lebih mending dari manusia yang menjadi wakil rakyat di sana.
Jangan bahas politik dulu, aku masih mau mengagumi matamu.
Berhenti membahas mataku.
Kau mau bahas apa saja, asal jangan politik. Aku muak.
Aku pun.


Kau diam?
Aku harus bicara apa?
Ceritakan tentang matamu.
Cerita apa lagi? Kau sudah tahu semuanya kupikir.
Aku suka kau menceritakannya lagi.
Berhentilah memujiku seperti ini. Iya, aku tahu ini juga berkatmu.
Kumohon cerita lagi. Aku suka kebanggaan diri.
Berkat mata ini, aku berhasil menarik banyak mata lelaki.
Lalu, apa lagi?
Mereka memberiku apa yang kumau.
Terus, terus?
Begitu seterusnya, sampai mereka tak mampu memberiku sesuatu lagi. Aku mencari lelaki lain.
Kau nakal.
Kau yang membujukku.
Kau yang memintaku.
Sebenarnya itu usul temanku.
Aku senang bekerja sama denganmu.
Aku biasa saja. Hmm, jangan terlalu berharap aku jatuh cinta padamu.
Aku tidak berharap. Aku setan yang profesional.
Bagus kalau begitu. Oh iya, besok, ada temanku yang juga mau memasang susuk di matanya. Kau siap-siap, ya?
Siap, Nyonya.

~HI, Jayapura 3 Nov 14~

Bertemu Parakang

16

(source gambar)

Kudukku meremang ketika berada di ujung jalan setapak yang temaram. Langkahku terhenti satu-satu ketika kuingat kembali cerita orang-orang. Batinku mencoba menangkis dengan berusaha berpikir logis, namun sugesti itu terlalu kuat, aku tetap gentar melangkah masuk. Padahal magrib sebentar lagi berakhir, dan tak kunjung satu pun kerabat atau tetanggaku yang lewat. “Paling tidak, aku punya teman untuk melewati jalan setapak ini,” begitu batinku. Seandainya aku punya alternatif lain memilih jalan pulang, mungkin aku tidak akan separno sekarang.

Sembari menunggu, tasbih dan lantunan doa tak henti-hentinya kulafalkan. Kekhawatiranku beralasan. Desa ini terkenal banyak parakang – makhluk jejadian lokal Sulawesi Selatan, semacam leak kalau di Bali atau Kuyang di Kalimantan. Kalau sejak dulu kutahu, tak kubiarkan suamiku menerima mutasi ke daerah ini.

Azan isya berkumandang dan belum ada tanda-tanda seseorang yang akan lewat. Aku pasrah, sesekali kuturuki diriku sendiri, “Lain kali, jam pulang ya langsung pulang, tak usah sok-sok melembur di kantor. Kau ini sedang hamil dan suamimu sedang dinas ke kota!”

Asaku kembali terbit ketika kulihat Ramang, tetanggaku, berjalan menuju tempatku berdiri.

“Baru pulang, Bondeng?” sapanya menghampiriku.

“Iya, Daeng Ramang. Tadi ada kerjaan nanggung buat diselesaikan, sekalian nyicil biar nanti pas cuti melahirkan aku tidak kepikiran,” aku melemaskan ketegangan sedari tadi dengan sebuah senyuman.

“Oh, kandunganmu sudah berapa bulan?” tanyanya.

“Sudah masuk bulan keenam, Daeng,” ujarku sembari mengusap perut buncitku.

“Oh, baguslah. Dijaga tuh kandunganmu, jangan terlalu keras bekerja. Omong-omong, kamu kenapa berdiri di sini? Nunggu seseorang?” tanyanya, lagi.

“Oh tidak, Daeng. Aku hanya kepikiran cerita orang-orang. Hmm.. tentang parakang. Katanya di desa ini banyak makhluk itu. Dan pohon pisang dan rawa di sekitar tepi jalan setapak itu sarangnya. Aku sedikit takut, apalagi katanya parakang sangat menyukai janin dalam kandungan.”

“Hahaha.. Kamu tak usah takut. Cerita itu hanya mitos, mungkin biar anak-anak desa sini tak berkeliaran menjelang magrib. Ya sudah, ayo bareng aku saja. Haha.. kupikir ada apa.” Syukurlah, ucapan Ramang sedikit menenangkanku.

“Iya, terima kasih, Daeng,” sedikit tergopoh, kuikuti langkahnya dari belakang.

“Suamimu ke mana? Kok tidak biasanya dia tak menjemputmu?” seandainya ia orang asing, mungkin aku akan sedikit risih ditanya seperti ini.

“Oh, sedang penataran di Makassar, Daeng. Besok lusa baru pulang. Birokrasi sekarang makin ribet, untuk naik golongan saja mesti ada sertifikasi macam-macam.”

“Ooh.. berarti kamu di rumah sendirian?” Keningku mengerut mendengar pertanyaannya kali ini, padahal sengaja kuarahkan ke obrolan yang sedikit santai.

“Hmm.. ada adikku, Daeng.”

“Ooh…”

Aku agak terganggu dengan reaksinya barusan. Aku mulai merasa ada yang aneh dengan Ramang.

“Hati-hati, mungkin mitos parakang itu benar adanya!”

Dan benar, Ramang memang sengaja membuatku takut, entah apa tujuannya. Yang pasti, aku benar kembali ketakutan. Kupercepat langkahku, kulambung ia dan kutinggalkan di belakang.

Hingga langkah ke sembilan belas, aku menoleh ke belakang dan terkejut, ia sudah tidak kelihatan. “Ramang sialan! Meninggalkanku dalam kondisi ketakutan dan…” Belum habis kesal bercampur takutku, sesosok makhluk menyeramkan tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku bergeming, kengerian menyelimutiku, pandanganku kabur lalu kosong, gelap.

***

“Halo, kenapa, Tarring?”

“Anu, Daeng. Kakakku, istrimu, perutnya kempes!”

“Innalillahi, astaga, pelankan ceritamu, Dek. Kenapa bisa?”

“Kak Bondeng, kata orang-orang, bayinya diisap parakang. Waktu pulang dari kantor tadi. Ia ditemukan pingsan di sekitar setapak yang banyak pohon pisang. Cepatki’ pulang, Daeng. Kak Bondeng terus-terusan menangis dan kayak orang ketakutan.”

“Iya, iya, sebentar lagi saya langsung ke terminal. Ada siapa saja di rumah sana? Panggil Pak Haji, minta tolong doakan!”

“Pak Haji tidak ada di rumah, dia ke Bulukumba, ada hajatan keluarganya. Di sini hanya ada saya sama tetangga yang dari tadi sudah bantu baca-baca, tapi Kak Bondeng makin kayak ketakutan.”

“Siapa yang bantu baca-baca?”

“Daeng Ramang!”

“Astagfirullah, dia itu paraka….!”

Telepon tiba-tiba terputus, Tarring semakin panik ketika listrik ikut-ikutan padam. Dan, sebuah teriakan panjang datang dari kamar Bondeng. Tarring gemetaran. Lalu duduk tersungkur, tak lama bau amis mulai tercium, bau amis darah.

** Parakang adalah manusia jejadian yang salah dapat ilmu. Bisa dibilang ilmu (mungkin kutukan) ini dapat diwariskan turun temurun, sehingga orang-orang keturunannya sering dicurigai sebagai parakang. 

 ~ HI, 11 Sept 2013, Kosan ~

SENDIRIAN, DI TERMINAL, DAN UDAH MALAM

33

Aku berusaha menahan gemeletuk gigiku yang memalukan ini. Seorang pria berbadan gempal dan berotot mulai mendekatiku, tampangnya yang sangar seolah-olah siap menerkamku, menyobek pakaianku lalu memerkosaku seperti anak gadis yang tak berdaya, “Okay, kamu ini lelaki. Jangan berpikiran berlebihan!” satu pribadi di kepalaku menoyor pribadi yang lain.

Dia makin mendekat, aku makin tak kuasa menahan rasa takutku. Kuperhatikan keadaan di sekitarku, oh damn terminal ini sepi sekali, hanya ada satu bus kosong di ujung sana, dan aku yakin kenek dan sopirnya sedang tidur. Bus yang kutunggu pun tak datang-datang. Lengkaplah sudah. Lelaki muda berperawakan ceking, kacamata tebal, serta tas laptop di punggung yang tak bidang, tentu saja adalah santapan istimewa bagi si preman terminal. Aku pasrah, dalam hati, khusyuk aku berdoa. “Ya Tuhan, lindungi ane!”

Dalam khidmat doaku, kurasakan langkahnya makin mendekat, mungkin enam belas langkah lagi ia sudah sampai tepat di hadapanku. Aku mengintip sedikit dengan sebelah mata. “Astaga, itu kan Agung Hercules? Penyanyi yang terkenal dengan goyang barbelnya?” Kubuka lebar-lebar kedua mataku, kembali memerhatikannya dengan saksama. “Iya, tak salah lagi!”

“Bro, liat Astuti gak?” tanyanya garang.

“Hah?” Aku bengong, terkejut dan tak menjawab. Aku yakin tampangku saat itu mirip panci penggorengan.

“Lihat Astuti kagaa? Gue kepit ketek juga lo!” Dan ya, mukaku memang bikin emosi.

Aku seketika pucat kembali, gemeletuk itu datang lagi. “Kaga, Bang. Ane orang baru di sini! Ab—abang artis yeh? Goyang barbel itu kan?” dengan lugunya, aku malah bertanya hal demikian. Oke, kali ini saya ikhlas menerima ganjaran. Kupasang pipiku, siap menerima gamparan.

Aku menutup mata pasrah. Lalu kudengar ia mendengus kesal.

“Tuh kan! Eike dibilang mirip sama Agung Hercules lagi! Aaaah, emang sialan si Astuti nih, ke mana sih diaaa! Eike kan udah bilang rambut eike dibikin curly aja, biar dak mirip… Hiiihhh”.

Ketika aku membuka mata, ia sudah ngeloyor pergi, meninggalkan aku yang masih bengong sendiri.

~ HI, 3 Sept 2013, Kosan ~

SILARIANG

12

Napasku mendesau, susul-menyusul seperti detak jantungku saat ini yang kian memacu. Kututup laptop yang ada di hadapanku, lalu kualihkan pandanganku pada Kenna, istriku yang sedang terlelap dalam syahdu tidurnya. Entah, ia mungkin tahu aku sedang memperhatikan, matanya membuka sedikit, “Belum tidurki’, Daeng? Sudah jam duami ini.” suaranya agak parau, namun aku suka.

Iye’, aku tadi baru selesai mengerjakan tugas kantor, lalu iseng-iseng blogwalking. Dan bodohnya, artikel yang kubaca tadi membuatku kepikiran.” Kataku sembari beranjak dari kursi kerjaku, menuju wastafel di sebelah kiri pintu kamar mandi.

Kenna setengah menguap, lalu duduk dan tertarik menanyakan kekhawatiranku, “Artikel apa, Daeng? Tentang whistleblower di kantormu? Tenang, selama kamu masih di jalan yang bersih, janganmeki’ takut.” Istriku ini kadang memang sok tahu.

“Bukan, Ma. Artikel tentang… hmm.. silariang. Aku baru tahu, ada banyak hal mengerikan yang mungkin saja terjadi karena perbuatan annyala yang kita lakukan.” Aku tahu, wajahku terbaca berwalang hati.

“Daeng, apa yang kita lakukan dulu biarkan saja menjadi masa lalu. Terlanjur kupela’ kalengku, Daeng. Tetta dan ammak sudah mencoretku dari daftar keluarga, dan itu semua kuterima asalkan aku bahagia denganmu, Daeng. Dan sekarang lihatlah, kita cukup bahagia. Apalagi, tak lama lagi, anak kita ini akan lahir.”

Aku bersyukur istriku memang tulus mencintai, dan itulah yang membuatku nekat menikahinya meski tanpa restu dari kedua orang tua kami.

Menurut pandangan orang tua Kenna, lelaki dari sukuku adalah lelaki yang kasar. Dan, menurut mereka lagi, aku adalah jelata yang tak cocok dengan Kenna, yang merupakan gadis keturunan bangsawan, dibuktikan dengan gelar di depan namanya.

Pada mulanya, orang tuaku – maksudnya bapakku, karena ibu telah meninggalkanku saat usiaku masih tujuh – tidak bermasalah saat kukenalkan pada Kenna, ia senang melihatku memilih sendiri calon istriku. Kemarahannya bermula saat hari dimana seharusnya menjadi momen terindah untukku dan Kenna berubah menjadi awal cerita romansa pelik kami. Pada saat lamaran, keluarga Kenna sengaja meninggikan doe’ panaik, yang menurutku hal ini merupakan akal-akalan saja agar aku mengurungkan niatku menyunting anak mereka.

Dari tiga puluh juta menjadi lima puluh juta. Bapak memandangku, aku merunduk. Ternyata, Bapak menyanggupi. Aku kembali mendongak dan tersenyum ke arahnya.

Aku sangat terperanjat ketika kudengar perwakilan keluarga Kenna kembali menaikkan doe’ panaiknya. Tiga ratus juta. Kenna adalah anak gadis satu-satunya dari enam bersaudara, mereka akan membuat pesta yang meriah, dan mereka pikir itu adalah nilai yang pantas.

Bapak, yang tadinya kuanggap pahlawanku, akhirnya murka. Ia tahu, kedatangannya tak mendapat sambutan baik. Maka berakhirlah acara lamaran itu. Dan menandakan harus berakhir pulalah kisah cintaku dan Kenna.

“Ada hal kutakutkan yang tak kita tahu sebelumnya, Kenna.” Ujarku melangkah ke sisinya.

“Apa itu, Daeng?” Wajahnya memandangku sendu, ia telah menerka aku akan mengatakan sesuatu yang buruk.

“Harga mati bagi pelaku silariang adalah darah. Saudara lelakimu wajib melukai bura’ne appakasiri’ sepertiku. Pikirku dulu tak bakal serumit ini. Kita kawin lari, mungkin tak lama, atau pas anak kita lahir, orang tuamu akan melunak, lalu kita menjalani ritual mabbajik. Selesai. Kita akan bahagia selamanya. Tapi tidak! Ada hal buruk lain yang tak kupertimbangkan. Bahwa keluargamu, orang tuamu, dan kelima saudara lelakimu, bisa saja sekarang sedang mencariku, bersiaga dengan badik peninggalan keluargamu yang sering kau ceritakan itu. Badik itu harus berdarah, oleh darahku. Untuk mengembalikan harga diri keluargamu.” Suaraku bergetar, kulihat Kenna menyembunyikan rupanya di sela kedua lututnya, menahan isakan tangis.

“Daeng takut mati?” Tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan yang tak kusangka.

“A-aku bukan takut mati, Ndi. Aku tak mau perjuangan kita sia-sia. Jika aku mati, tentu kamu akan kembali ke keluargamu, anak kita bagaimana? Kamu bagaimana? Bahagia?” Ia kembali memeluk lutut.

“Berarti selamanya kita akan di kota ini, Daeng?” Ia kembali berbaring.

“Aku tak tahu, kamu sendiri kan yang pernah bilang, bahwa Tetta dan keluargamu adalah orang yang paling kolot dan menjunjung tinggi adat-istiadat?” ujarku seraya mengelus rambut hitamnya.

Kami saling diam. Bukan karena tak bisa saling menyemangati. Kami berbaring dan saling tatap, tatapan yang saling membaca mata. Aku dan ia tahu, otak kami sedang memikirkan keadaan kami, nanti. Mencari solusi yang tak kunjung kami temui. Menerka harapan yang tipis membahagiakan. Mungkin, dalam mimpi, semuanya akan indah.

“Kenna, tahukah kamu? Aku melihat kakakmu di gedung kantorku tadi pagi.” Bisikku lirih, memandangi wajahnya yang cantik dan sudah mendengkur halus itu.

Kubalikkan badanku ke sisi ranjang yang lain, meraih tas kerjaku, merogoh dan memastikan bahwa benda itu masih terselip di sana. Badik titipan Bapak, buat jaga-jaga.

***

Keterangan:

“Belum tidurki’, Daeng? Sudah jam duami ini.” = “Kamu belum tidur? Ini kan sudah jam dua.”

“ … janganmeki’ takut.” = “… Kamu jangan takut.”

Silariang = kawin lari, atau sepasang kekasih yang sepakat untuk menikah meski tanpa memperoleh restu orang tua.

Kupela’ kalengku = Membuang diri, mengganggap dirinya bukan lagi bagian dan keluarga dan memisahkan diri.

Tetta dan ammak = Sebutan untuk ayah dan ibu.

Doe’ panaik = Uang yang diberikan oleh pihak calon mempelai lelaki sebagai penghargaan kepada calon mempelai perempuan yang akan dinikahinya.

Bura’ne appakasiri’ = Lelaki pembuat aib.

Mabbajik = Langkah untuk membina kembali hubungan baik.

Andi/Ndi = Sapaan untuk kekasih, adik, atau orang yang dikasihi.

 

*FF ini terinspirasi dari tulisan-tulisan di bawah ini:

http://daenggassing.com/2011/06/09/silariang/

Cerpen-cerpen Daeng Khrisna Pabichara dalam buku Gadis Pakarena.

 

~ HI, 18 Agustus 2013, Menteng Atas –

CIUMAN DI UJUNG TANGGA

21

https://i0.wp.com/kfk.kompas.com/image/preview/aW1hZ2VzL3Nma19waG90b3Mvc2ZrX3Bob3Rvc18xMjk4OTg5NzE2X0RreHg1ZDVVLmpwZw%3D%3D.jpg

Kami berhenti di ujung tangga. Ia diam memandangiku penuh gairah. Satu tangannya siap mendorongku merapat ke tembok, sementara satu tangan lainnya menangkap pipiku, sehingga tak sempat mengelak dari serangan bibirnya.

“Mon, kelihatan Pak Roni bisa di DO kita!” ujarku sembari menghempaskan tangannya secara kasar.

“Tak ada siapa-siapa di sini, Sayang. Sekolah sudah sepi.” Monik masih saja bergairah, masih berusaha melancarkan aksinya.

“Aku gak bisa, Mon. Aku mau pulang!” Kurapikan seragamku yang sedikit berantakan, lalu segera pergi tanpa berani lagi memandang matanya.

“Bar, lo bakal menyesal memperlakukan gue kayak gini! Lo bakal menyesal, Bara!”

Entah, aku bergidik mendengar ucapannya – wanita yang bukan pacarku, bahkan kami baru kenal tiga hari yang lalu – bisa bertindak seagresif ini.

Belum habis kepanikanku, di ujung lorong, ternyata telah berdiri Pak Roni. “Astaga, semoga beliau tak melihat kejadian di tangga barusan!” batinku.

“Bikin apa kamu jam segini belum pulang?” tanya Pak Roni, tapi karena suaranya yang tegas dan keras, aku mendengarnya sebagai gertakan.

“Ng.. anu, Pak. Kerja tugas kelompok, sama M..Monik,” aku berbohong seadanya, aku tahu raut mukaku panik.

“Monik? Ng.. sudah..sudah.. kamu pulang sana!” tak perlu menunggu lama, aku langsung berlari menuju pintu pagar sekolah.

***

“Bar, lo udah pernah denger desas-desus seputar sekolah ini belum sih?” Riki, teman sekelasku memulai pembicaraan saat kami bolos jam matematika.

“Desas-desus apaan?” tanyaku penasaran.

“Lo tau gak sih? Di tangga ini, dulu, pernah ada kejadian menyeramkan. Katanya, seorang siswi pernah tewas gara-gara terjatuh dari tangga ini. Kepalanya terkena paku berkarat yang mencuat di gagang situ. Nah, mayatnya tepat pada posisi yang lo dudukin itu.”

“Anjrit lo, bikin gw parno aja!” aku langsung berdiri, lalu pindah ke lima anak tangga di atasnya.

“Eh, beneran gw. Ini Mang Ujang yang ceritain ke gue, ini rahasia kelam Pak Roni.”

“Pak Roni?”

“Iya, kata Mang Ujang, Pak Roni sejak dulu jadi guru idola, banyak siswi yang jatuh hati padanya, apalagi saat itu dia masih bujangan, berlomba-lombalah semua cewek-cewek mengejar dia!”

“Trus, hubungannya ama siswi yang mati di sini?”

“Nah, menurut gosip, akhirnya Pak Roni pun menaruh hati pada salah seorang murid pindahan dari luar negeri. Masalahnya, tuh cewek mesum, suka main nyosor-nyosor aja ama Pak Roni. Suatu ketika, di ujung tangga atas sana, siswi itu beraksi lagi, Pak Roni gak sengaja mendorongnya sampai jatuh, dan kena paku tadi!”

“Lah, tapi kok Pak Roni gak ditangkep polisi?”

“Gak ada saksi, hmm.. ada ding, Mang Ujang, tapi dia gak mau bersaksi, soalnya menurutnya bukan Pak Roni yang salah, siswi itu yang kecentilan!”

“Nama siswi itu siapa?”

“Hmm…. lupa gue! Udah, Bro.. Gue mau pedekate dulu, gebetan gue sebentar lagi dateng, sana lo masuk!”

Aku mendengus kesal meninggalkan Riki. Belum ada jarak sepuluh meter aku beranjak, Riki telah asyik mengobrol dengan teman wanitanya.

Aku menoleh.

Monik? Iya, itu Monik. Dia sengaja melirik ke arahku, lalu kembali memandang Riki, perlahan bibirnya mulai mendekati wajah Riki.

Aku terperanjat, dengan jelas kulihat, di kepala bagian belakang Monik, menancap sebuah paku berkarat.

~ HI, 29 Jul 13, Kosan ~

 

Kolak (Kelok) Rumah Tangga

13

Ada yang beda sore ini, Arga mendapati wangi gula aren berpadu dengan gurihnya santan datang dari arah dapur.

“Tumben masak, pacarmu mau datang?” tanya Arga pada Sora, sinis.

Sora hanya tersenyum menanggapi, lalu kembali tekun memotong pisang tanduk yang setengah matang.

“Kalo itu buatku, tak perlu repot-repot, aku mau makan di luar sama Ratih,” lanjut Arga, merasa tak ditanggapi.

Sora menghentikan ritual memotongnya, “Ini buat ibumu, Bodoh! Makanan kesukaan Mama itu kolak kan?  Dia mau mampir, paling sebentar lagi tiba,” dengus Sora kesal.

“Ada perlu apa Mama ke sini? Kok gak bilang-bilang aku?” Arga malah bertanya.

“Ya gak tahu. Oiya, batalin janjimu sama pacarmu itu, malam ini kau tak boleh ke mana-mana, temani aku temui ibumu , aku malas menjawab pertanyaannya yang hanya seputar ‘Gimana, sudah isi?’ atau ‘Mama pengen gendong cucu.’ Bosan.” Sahut Sora, ketus.

***

“Kolaknya enak, Sor. Kamu memang jagonya masak,” Bu Ratmi terus menyendok kolak di mangkuknya hingga nyaris tak bersisa.

“Makasih, Ma. Aku belajar dari internet itu. Mau nambah, Ma? Di dapur masih banyak banget,” Sora sedikit berbasa-basi, demi menyenangkan hati mertuanya.

“Mama sudah kenyang, Sor. Nanti deh Mama bawa pulang kalo emang masih banyak. Ga, kamu gak dihabisin kolaknya? Dari tadi liatin jam melulu. Kenapa? Kamu ada janji?”

“Ngg.. iya, Arga kenyang, tadi sebelum pulang kantor, mampir di kantin. Hmm, nggak ada janji kok, Mam.” Arga menjawab kikuk, sementara Sora hanya senyum-senyum melihat tingkah Arga.

“Maaf, Ma. Piringnya aku angkat dulu,” Sora memecah kecurigaan Bu Ratmi melihat tingkah Arga.

“Gak usah, Sor. Nanti dulu, Mama mau ngomong hal penting.”

Sora berusaha tersenyum, “Ah, pasti masalah momongan lagi!” batinnya.

“Arga, Sora, kalian sudah tiga tahun menikah loh.”

Sora menghela napasnya, “Damn, bener kan!”

“Kalian sudah memeriksakan diri ke dokter?”

Arga diam, Sora pun ikut diam.

“Nanti ya, Mam.. Aku sama Sora masih mau fokus sama karier masing-masing.”

“Jangan bohong, Ga. Mama tahu soal pernikahan kontrak kalian. Empat tahun kan? Buat apa sih? Kalau hanya untuk memenuhi permintaan almarhum ayahmu, kamu salah, Ga. Ayahmu ingin kamu menikah dengan cinta, lalu serius membentuk keluarga,” airmata Bu Ratmi tak sengaja mengalir di pipinya yang sudah mengeriput.

Arga dan Sora hanya menunduk, dalam hati mereka sibuk menerka dari siapa Mama tahu rahasia mereka ini.

“Sora, kamu cinta sama Arga?”

Sora mendongak kaget begitu pertanyaan yang tak ia sangka ditujukan padanya.

“Ngg.. Maaf, Ma.. Tapi kami sudah sepakat untuk tak saling jatuh cinta,” jawabnya lalu kembali menunduk.

“Astaga, kalian keterlaluan. Pernikahan itu sakral!” Bu Ratmi lalu bergegas meninggalkan meja makan, lalu keluar melalui pintu depan, meninggalkan Arga dan Sora.

***

“Ga?”

“Ya, Sor?”

“Trus gimana?”

“Gimana apanya?”

“Kontrak kita? Batalin aja?”

“Enak aja. Kamu memang cinta dan sayang sama aku?”

“Aku sudah hidup denganmu tiga tahun, aku rasa aku mulai suka padamu. Kamu gimana?”

“Aku punya pacar, kamu juga kan?”

“Aku bohong. Tak pernah ada namanya Rico, Thomas, atau Bambang.”

“Hah?”

“Iya, hanya untuk membuatmu cemburu.”

“Aku juga. Ratih itu sepupuku.”

“Dasar pembohong!”

“Kamu juga!”

“Jadi?”

“Jadi apanya?”

“Tentang permintaan Mama?”

“Anak?”

“Iya.”

“Yuk.”

“Yuk apanya?”

“Bikin.”

“Yuk. Habisin dulu kolakmu.”

 

 

~ HI, 26 Jul 2013, McD ~

BEBI

32

Namanya Bebi, 63 tahun.

Wanita tangguh yang enggan dipanggil mbak, bunda, tante, apalagi nenek. “Panggilnya Bebi aja,” ujarnya sembari mengedipkan sebelah matanya.

Pejuang karier itu belum menikah. Tak punya keluarga, saudara, atau sanak kerabat lainnya. “Semuanya sudah lama mati,” ujarnya sembari berusaha tersenyum.

Aku cinta sama Bebi.

Salah? Tidak sama sekali.

Karena dia juga cinta padaku.

Kurasa itu cukup.

Namaku Teddy, 22 tahun.

 

~HI, 25 Jul 2013, Kantor Jam Istirahat~

Kontes Unggulan Enam Puluh Tiga