Napasku mendesau, susul-menyusul seperti detak jantungku saat ini yang kian memacu. Kututup laptop yang ada di hadapanku, lalu kualihkan pandanganku pada Kenna, istriku yang sedang terlelap dalam syahdu tidurnya. Entah, ia mungkin tahu aku sedang memperhatikan, matanya membuka sedikit, “Belum tidurki’, Daeng? Sudah jam duami ini.” suaranya agak parau, namun aku suka.
“Iye’, aku tadi baru selesai mengerjakan tugas kantor, lalu iseng-iseng blogwalking. Dan bodohnya, artikel yang kubaca tadi membuatku kepikiran.” Kataku sembari beranjak dari kursi kerjaku, menuju wastafel di sebelah kiri pintu kamar mandi.
Kenna setengah menguap, lalu duduk dan tertarik menanyakan kekhawatiranku, “Artikel apa, Daeng? Tentang whistleblower di kantormu? Tenang, selama kamu masih di jalan yang bersih, janganmeki’ takut.” Istriku ini kadang memang sok tahu.
“Bukan, Ma. Artikel tentang… hmm.. silariang. Aku baru tahu, ada banyak hal mengerikan yang mungkin saja terjadi karena perbuatan annyala yang kita lakukan.” Aku tahu, wajahku terbaca berwalang hati.
“Daeng, apa yang kita lakukan dulu biarkan saja menjadi masa lalu. Terlanjur kupela’ kalengku, Daeng. Tetta dan ammak sudah mencoretku dari daftar keluarga, dan itu semua kuterima asalkan aku bahagia denganmu, Daeng. Dan sekarang lihatlah, kita cukup bahagia. Apalagi, tak lama lagi, anak kita ini akan lahir.”
Aku bersyukur istriku memang tulus mencintai, dan itulah yang membuatku nekat menikahinya meski tanpa restu dari kedua orang tua kami.
Menurut pandangan orang tua Kenna, lelaki dari sukuku adalah lelaki yang kasar. Dan, menurut mereka lagi, aku adalah jelata yang tak cocok dengan Kenna, yang merupakan gadis keturunan bangsawan, dibuktikan dengan gelar di depan namanya.
Pada mulanya, orang tuaku – maksudnya bapakku, karena ibu telah meninggalkanku saat usiaku masih tujuh – tidak bermasalah saat kukenalkan pada Kenna, ia senang melihatku memilih sendiri calon istriku. Kemarahannya bermula saat hari dimana seharusnya menjadi momen terindah untukku dan Kenna berubah menjadi awal cerita romansa pelik kami. Pada saat lamaran, keluarga Kenna sengaja meninggikan doe’ panaik, yang menurutku hal ini merupakan akal-akalan saja agar aku mengurungkan niatku menyunting anak mereka.
Dari tiga puluh juta menjadi lima puluh juta. Bapak memandangku, aku merunduk. Ternyata, Bapak menyanggupi. Aku kembali mendongak dan tersenyum ke arahnya.
Aku sangat terperanjat ketika kudengar perwakilan keluarga Kenna kembali menaikkan doe’ panaiknya. Tiga ratus juta. Kenna adalah anak gadis satu-satunya dari enam bersaudara, mereka akan membuat pesta yang meriah, dan mereka pikir itu adalah nilai yang pantas.
Bapak, yang tadinya kuanggap pahlawanku, akhirnya murka. Ia tahu, kedatangannya tak mendapat sambutan baik. Maka berakhirlah acara lamaran itu. Dan menandakan harus berakhir pulalah kisah cintaku dan Kenna.
“Ada hal kutakutkan yang tak kita tahu sebelumnya, Kenna.” Ujarku melangkah ke sisinya.
“Apa itu, Daeng?” Wajahnya memandangku sendu, ia telah menerka aku akan mengatakan sesuatu yang buruk.
“Harga mati bagi pelaku silariang adalah darah. Saudara lelakimu wajib melukai bura’ne appakasiri’ sepertiku. Pikirku dulu tak bakal serumit ini. Kita kawin lari, mungkin tak lama, atau pas anak kita lahir, orang tuamu akan melunak, lalu kita menjalani ritual mabbajik. Selesai. Kita akan bahagia selamanya. Tapi tidak! Ada hal buruk lain yang tak kupertimbangkan. Bahwa keluargamu, orang tuamu, dan kelima saudara lelakimu, bisa saja sekarang sedang mencariku, bersiaga dengan badik peninggalan keluargamu yang sering kau ceritakan itu. Badik itu harus berdarah, oleh darahku. Untuk mengembalikan harga diri keluargamu.” Suaraku bergetar, kulihat Kenna menyembunyikan rupanya di sela kedua lututnya, menahan isakan tangis.
“Daeng takut mati?” Tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan yang tak kusangka.
“A-aku bukan takut mati, Ndi. Aku tak mau perjuangan kita sia-sia. Jika aku mati, tentu kamu akan kembali ke keluargamu, anak kita bagaimana? Kamu bagaimana? Bahagia?” Ia kembali memeluk lutut.
“Berarti selamanya kita akan di kota ini, Daeng?” Ia kembali berbaring.
“Aku tak tahu, kamu sendiri kan yang pernah bilang, bahwa Tetta dan keluargamu adalah orang yang paling kolot dan menjunjung tinggi adat-istiadat?” ujarku seraya mengelus rambut hitamnya.
Kami saling diam. Bukan karena tak bisa saling menyemangati. Kami berbaring dan saling tatap, tatapan yang saling membaca mata. Aku dan ia tahu, otak kami sedang memikirkan keadaan kami, nanti. Mencari solusi yang tak kunjung kami temui. Menerka harapan yang tipis membahagiakan. Mungkin, dalam mimpi, semuanya akan indah.
“Kenna, tahukah kamu? Aku melihat kakakmu di gedung kantorku tadi pagi.” Bisikku lirih, memandangi wajahnya yang cantik dan sudah mendengkur halus itu.
Kubalikkan badanku ke sisi ranjang yang lain, meraih tas kerjaku, merogoh dan memastikan bahwa benda itu masih terselip di sana. Badik titipan Bapak, buat jaga-jaga.
***
Keterangan:
“Belum tidurki’, Daeng? Sudah jam duami ini.” = “Kamu belum tidur? Ini kan sudah jam dua.”
“ … janganmeki’ takut.” = “… Kamu jangan takut.”
Silariang = kawin lari, atau sepasang kekasih yang sepakat untuk menikah meski tanpa memperoleh restu orang tua.
Kupela’ kalengku = Membuang diri, mengganggap dirinya bukan lagi bagian dan keluarga dan memisahkan diri.
Tetta dan ammak = Sebutan untuk ayah dan ibu.
Doe’ panaik = Uang yang diberikan oleh pihak calon mempelai lelaki sebagai penghargaan kepada calon mempelai perempuan yang akan dinikahinya.
Bura’ne appakasiri’ = Lelaki pembuat aib.
Mabbajik = Langkah untuk membina kembali hubungan baik.
Andi/Ndi = Sapaan untuk kekasih, adik, atau orang yang dikasihi.
*FF ini terinspirasi dari tulisan-tulisan di bawah ini:
http://daenggassing.com/2011/06/09/silariang/
Cerpen-cerpen Daeng Khrisna Pabichara dalam buku Gadis Pakarena.
~ HI, 18 Agustus 2013, Menteng Atas –