Pandangan kami berserobok, terpatri pada benda yang teronggok di jalan. Dengan gegabah, mata kami mencari-cari titik lain, mencegah bersitatap agar tak menaruh curiga. Setelah jalan sepi, dan pemilik benda belum menyadari raibnya, kami berlomba meraihnya.
Bruk!
Kali ini bukan tatapan kami, tapi kepala yang saling menyampuk. Tatapannya seolah-olah menyayat pelipisku, kubalas dengan tatapan tak kalah tajam. Butuh satu-dua detik, sampai kami sadar bahwa tangan masing-masing tertumpuk di atas benda incaran.
“Punya gue!” katanya, menarik tangannya cepat-cepat.
“Enak saja! Lo pikir gue buta, dompet ini milik lelaki tadi, sohib gue!” kataku, mengelabui.
“Sohib dari mana? Penampilan lo berbanding terbalik dengannya. Lo kira gue bego!” ia merampas dompet itu dari tanganku.
“Oke, bercanda! Siniin dompetnya, gue mau balikin, atau gak gue serahin ke kantor polisi,” lagi, kulancarkan bualanku.
“Tampang kriminal lo mana bisa gue percaya!” Dih, kriminal teriak kriminal.
“Baiklah, cukup basa-basinya. Kita bagi dua?” tawarku.
“Gue aja yang balikin,” katanya, masih mengelak.
“Ah, lo benar-benar pembual sejati. Ayolah, gue nawarin hal terbaik. Bagi dua?”
“Apa yang bikin lo begitu berburuk sangka ke gue?” tanyanya.
“Kita sama, butuh uang, untuk makan, tanpa perlu usaha, usaha keras. Betul kan?” jawabku, terbata, setelah menyadari air mukanya berubah mendung.
“Gue butuh banget. Adik gue harus bayar uang sekolah.” Dan ya, tangisnya pecah.
Aku serba salah, ingin kuikhlaskan saja seluruh isinya, tapi bisa saja aku dikibulinya.
“Baiklah. Gue sepertiganya.”
Ia mendongak dari tunduknya, “Serius? Baik banget!”
Dengan cekatan ia membongkar harta temuan kami itu.
Tiba-tiba, wajahnya mendung lagi. Dahiku mengerut.
“Kosong!”
Aku membelalak.
Ah, ia mendengus kesal. Pun aku.
Ia melempar benda itu menghantam tanah, kutambahkan dengan tendangan sekuat tenaga. Dompet itu kini terhempas hingga selokan.
Hening cukup lama.
Pandangan kami kembali berserobok, lalu tertawa lepas.
“Kamu biasa ngamen di mana? Aku di terminal kota!”
Dialog berlanjut.
Tiba-tiba aku tersadar, ada sedikit yang berubah: kami ber-aku-kamu-an.
~HI, 14 Maret 2016, Jayapura~