#FFKAMIS: KENCAN DI KEBUN BELAKANG

1

Malam pekat, sinar bulan menyeruak di antara semak.

Dirangkul, kudekapnya, erat.

Ia mencumbu, seraya menarik turun blus merah jambuku.

Kubalas tanpa suara, kupagut bibir wangi tembakaunya, mesra.

Panas tubuh kami menguar, semerbak menyatu dengan bau kebun terkena embun.

Pergumulan lama, kami berhasil mencapai nirwana.

“Mulai besok, kita main di kamarku. Aku tidak suka gelap!” kataku.

***

“Aku tidak suka gelap!” katanya sembari merapikan pakaiannya.

Ia bergegas pergi, cemas ayahnya akan menunggui di depan pintu jika terlalu lama.

Setelah kupastikan ia benar menghilang, kubuang terung yang masih menggantung di selangkang.

Sambil kupikir-pikir, siasat apa yang akan kupakai jika bermain di tempat terang.

 

~HI, 29 Sept 2016, Jayapura~

 

#FF3in1: KUIS SIAPA BERANI

4

Tiga peserta bersiap, antusias menunggu pertanyaan dariku.

Tidak semua, Bembi, lelaki culun di tengah itu sepertinya gemetaran.

“Soal pertama, taruhannya jari tengah ya. Tahun aku lahir?”

Lelaki paling kiri, mengangkat satu tangan yang tak terikat.

“1988!”

“Hmm.. Salah, Aldi! Maaf yah, sini tangan kananmu.”

Teriakan sakit menggema ke seluruh ruangan.

“Oke, ada yang berani menjawab? Bembi? Seth?”

Seth, si tampan, menjawab, “1990?”

“Yak, benar sekali, Sayangku!” kataku sembari mengecup bibirnya.

Pertanyaan terus berlanjut sampai ke babak final, tersisa Aldi dan Seth, Bembi sepertinya sudah tak berdaya setelah jantungnya kutusuk pena.

“Pertanyaan terakhir. Taruhannya kepala kalian yah. Will you marry me?”

 

~HI, 2 Sept 2016, Jayapura~

 

*) dalam rangka tantangan FF maksimal 100 kata #HororisCausa dari @Melctra dan @Irfanaulia

#FF3in1: PEREMPUAN LAKNAT DAN LELAKI BANGSAT

0

Perempuan Laknat berdiri di tepi jalan meraung-raung menjangkau lengan-lengan berotot lelaki yang lewat.

Lelaki Bangsat di tepi jalan satu lagi, tak kalah beringasnya menggapai-gapai dada-dada ranum gadis yang berseliwer.

Ketika berhasil dijangkau: Perempuan dan Lelaki dengan buas menciumi. Lantas, ketika puas, dihantamkannya sampai berserak, merah darah melumuri jalan.

Tersebar cepat, sampai-sampai tak ada nyali melewati lorong yang mencekam.

Perempuan dan Lelaki kesepian. Butuh perhatian. Syahwat berkelindan.

Sebuah selebaran tertiup angin, terhenti di kaki masing-masing: Seluruh manusia diungsikan ke Mars.

Perempuan meraih lengan berotot Lelaki. Lelaki meraih dada ranum Perempuan.

Keduanya khidmat dalam nikmat.

Bisa ditebak, keduanya meledak, berserak lalu mengerak.

 

~HI, 2 Sep 2016, Jayapura~

#FF3in1: PERJALANAN

0

Batinku masygul: sejak awal kuusulkan untuk menempuh jalur udara, tapi Marthen bersikeras agar menempuh jalur darat, banyak desa yang bisa dimampiri blusukan, katanya.

Kini, ia hanya bisa meminta maaf ketika mobil mogok dan terperangkap di tepi hutan, tanpa sinyal, tanpa bekal.

Bosku tak kalah pitam, habislah Marthen diteriakinya.

Sang rawi tenggelam, memanggil gelita nan dingin.

Marthen berusaha membenarkan mesin, sementara kutemani bosku bercerita.

Bosku sangat suka bicara, apa saja diceritanya, termasuk ancaman dari pesaing politiknya.

“Katanya, saya akan dicarikan suanggi sebelum pilkada, Ben.”

Kudukku merinding.

Semakin tegak, tatkala terdengar langkah di belakang.

Marthen menyeringai dengan mata menyala bak kobaran api.

 

~HI, 2 Sept 2016, Jayapura~

New Post: #FF3in1

3

Halo,

Sepertinya kasihan sekali blog ini tidak pernah di-update. Maklum, si empunya lagi malas-malasnya dan tidak produktif untuk bercerita.

Sehubungan dengan hal tersebut, *bahasanya sesuai tata naskah dinas banget, bro* maka melalui program ini, pengen bikin program #FF3in1 di blog ini. Jadi, saya akan memposting 3 FF bertema serupa setiap minggunya dalam satu hari, dengan tema yang serupa. Dan pada minggu ini, sekaligus mau meramaikan perayaan #HororisCausa-nya MbakMel dan Irfan, maka tema/genre yang akan kuangkat adalah horor atau hal-hal *yang mungkin* creepy. Oh iya, untuk update selanjutnya *mungkin* di bulan Oktober ya, minggu depan sampai akhir bulan mau liburan dulu 😛

So, selamat menikmati. Semoga saya tetap konsisten dalam mengisi blog ini. haha..

 

~ HI, 2 Sept 2016, Jayapura~

 

CERITA LAMA DARI TEMAN LAMA

0

Wanita itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu apartemenku. Teman lama, baru bersua kembali sejak tujuh puluh satu bulan lamanya. Katanya, ia sangat sibuk mengatur waktunya. Kubilang, tidak apa-apa, aku siap kapan saja bertemu dengannya.

Sembari kuajak masuk, ia mulai semringah bercerita kisahnya kini, tentang pekerjaan barunya, tempat tinggal barunya, dan tentu saja, suami barunya. Adrian, suami lamanya -yang dulu sempat kupuja- tidak ubahnya adalah lelaki pemalas yang tak bisa diandalkan. Berbeda dengan Samuel, yang pekerja keras dan mampu memenuhi segala kebutuhannya. Terlebih lagi, Samuel yang masih lajang rela meninggalkan pacar dan mau menerima statusnya yang janda beranak dua. Ia sempat bercanda -dan kuanggap kebenaran- tentang kehebatan susuk pemikat sukma, ia tertawa, aku hanya tersenyum masam.

Gantian, ia menanyaiku bagaimana, kapan dan apa. Kujawab sekenanya, karena tidak ada yang menarik dari kisahku, masih cerita lama. Kau pasti mau kukenalkan dengan rekan sekantorku? katanya tiba-tiba, seolah-olah tidak memberiku pilihan untuk menjawab tidak. Dilanjutnya lagi seperti sales yang menawarkan barang yang dijajakannya: dia baik, ganteng dan tentu saja sudah mapan. Kembali, aku tersenyum kecut.

Topik berpindah dengan cepatnya ketika ia mulai berkeliling apartemen yang baru saja kubeli setahun yang lalu. Ia suka dengan desain ruangnya yang kutata sendiri. Ia suka dengan ornamen jaring laba-laba di setiap sudut ruang tamu, serta nuansa serba hitam dan kelabu yang menguasai sebagian besar warnanya.

Kuajak ia berhenti sejenak di dapur, telah kusiapkan sedikit kudapan beserta minuman dinginnya. Tanpa sungkan, ia menerima ajakan. Tanpa ragu disantap dan diteguknya tanpa kecurigaan.

Sempat dikatakannya hidanganku enak, lalu kemudian kepala pening dan jatuh. Kutangkap matanya sedikit membelalak ketika ia melihat fotoku dan Samuel di lemari sisi dapur.

Selamat tinggal, teman lama. Sudah lama, aku tidak menganggapmu teman. Sejak dua kali kau merebut lelaki yang kuidam-idamkan.

Teman tidak makan teman. Tapi, malam ini, aku akan makan teman.

 

 

~HI, 14 Mei 2016, Jayapura, menulis kembali sebagai latihan menulis cerpen untuk proyek selanjutnya, ahelah kaku amat yak sekarang..~

 

KESATRIA, PUTRI, DAN DOMPET JATUH

6

Pandangan kami berserobok, terpatri pada benda yang teronggok di jalan. Dengan gegabah, mata kami mencari-cari titik lain, mencegah bersitatap agar tak menaruh curiga. Setelah jalan sepi, dan pemilik benda belum menyadari raibnya, kami berlomba meraihnya.

Bruk!

Kali ini bukan tatapan kami, tapi kepala yang saling menyampuk. Tatapannya seolah-olah menyayat pelipisku, kubalas dengan tatapan tak kalah tajam. Butuh satu-dua detik, sampai kami sadar bahwa tangan masing-masing tertumpuk di atas benda incaran.

“Punya gue!” katanya, menarik tangannya cepat-cepat.

“Enak saja! Lo pikir gue buta, dompet ini milik lelaki tadi, sohib gue!” kataku, mengelabui.

“Sohib dari mana? Penampilan lo berbanding terbalik dengannya. Lo kira gue bego!” ia merampas dompet itu dari tanganku.

“Oke, bercanda! Siniin dompetnya, gue mau balikin, atau gak gue serahin ke kantor polisi,” lagi, kulancarkan bualanku.

“Tampang kriminal lo mana bisa gue percaya!” Dih, kriminal teriak kriminal.

“Baiklah, cukup basa-basinya. Kita bagi dua?” tawarku.

“Gue aja yang balikin,” katanya, masih mengelak.

“Ah, lo benar-benar pembual sejati. Ayolah, gue nawarin hal terbaik. Bagi dua?”

“Apa yang bikin lo begitu berburuk sangka ke gue?” tanyanya.

“Kita sama, butuh uang, untuk makan, tanpa perlu usaha, usaha keras. Betul kan?” jawabku, terbata, setelah menyadari air mukanya berubah mendung.

“Gue butuh banget. Adik gue harus bayar uang sekolah.” Dan ya, tangisnya pecah.

Aku serba salah, ingin kuikhlaskan saja seluruh isinya, tapi bisa saja aku dikibulinya.

“Baiklah. Gue sepertiganya.”

Ia mendongak dari tunduknya, “Serius? Baik banget!”

Dengan cekatan ia membongkar harta temuan kami itu.

Tiba-tiba, wajahnya mendung lagi. Dahiku mengerut.

“Kosong!”

Aku membelalak.

Ah, ia mendengus kesal. Pun aku.

Ia melempar benda itu menghantam tanah, kutambahkan dengan tendangan sekuat tenaga. Dompet itu kini terhempas hingga selokan.

Hening cukup lama.

Pandangan kami kembali berserobok, lalu tertawa lepas.

“Kamu biasa ngamen di mana? Aku di terminal kota!”

Dialog berlanjut.

Tiba-tiba aku tersadar, ada sedikit yang berubah: kami ber-aku-kamu-an.

 

~HI, 14 Maret 2016, Jayapura~

 

 

RITUAL KOPI

9

Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara yang paling baik*.

Ritual seperti biasa ia mulai dengan menghirup aroma khas kopi arabika pada uapnya, hening beberapa saat, lalu mulailah ia menyesap, teguk demi teguk. Ritual yang membuatnya tenang dan rileks. Sepertinya sudah lama ia tidak melakukan ritual ini, semenjak bui memberinya jarak dengan kebebasan. Sejak tindakannya memberi bogem mentah, untuk membela Marni dari tindak asusila Sanusi Bahar, pejabat daerah yang berkuasa, berbuah tuntutan.

Ia duduk di sudut kedai, menghadap pintu masuk pun dapat melihat ke area pembuatan kopi. Kedai kopi ini tak ramai seperti dulu, perabot dan interiornya mulai usang. Sesekali terlihat muda-mudi masuk dan bertanya apakah ada wifi, lalu pergi setelah peramu kedai menggeleng.

Ia melirik arloji di pergelangan kirinya, sudah pukul sembilan belas lebih lima. Ia menarik napas panjang, lalu menampakkan raut yang bias antara marah atau kecewa. Kopi dalam cangkirnya sudah habis, memesan satu lagi, tentu penyaji akan senang.

Gelas ketiga tandas, Marni belum jua datang. Terlampau malam untuk tetap mengharapkannya hadir. Ia berjalan menuju kasir yang sedang terlihat bersiap untuk pulang. Dibayarnya ditambah dengan tip. Meskipun ia tidak berpenghasilan selama tiga tahun, dana dalam tabungannya masih cukup untuk bertahan dalam beberapa bulan ke depan.

Ia menyusuri jalan dengan tujuan tak tentu. Hari ini, belum tahu ia akan tidur di mana. Mendapatkan kamar sewa tidak mudah dalam semalam. Menginap di hotel akan mengurangi jatah makannya selama beberapa hari. Bukan tak punya teman, namun siapa yang hendak memberi tumpangan pada mantan narapidana yang baru lepas? Masjid adalah pilihan terakhirnya. Meski selama di penjara ia jarang salat, tapi ia masih belum lupa gerakannya, jaga-jaga jika imam masjid membangunkannya saat subuh.

Ternyata tiga cangkir kopi tadi mencegah kantuknya. Sepanjang malam, sunyi menemaninya memandangi langit-langit masjid yang tinggi. Sesekali terlintas burung malam atau entah, mungkin kelelawar. Bayangan Marni samar-samar merasuk ke pikirannya: apa kabarnya, bagaimana rupanya, dan masihkah ia setia menunggui ia bebas.

Janji yang tak ditepati tadi sore membuatnya gamam. Apakah Marni tak membaca pesan yang dikirimnya dari ponsel sipir yang bersedia meminjamkan tadi pagi. Ataukah Marni memang tak hendak menemuinya? Kalut melanda, hingga ia terlelap dalam gelisah. Dingin malam menambah kelesah.

Suara azan mulai terdengar ketika ia terbangun dan mengumpulkan kesadaran. Dugaannya benar, imam masjid telah menungguinya dengan senyum, lalu menunjukkan lokasi wudu dengan gerakan mata dan alisnya.

Usai salat berjamaah, ia bergegas hendak kembali mengembara melanjutkan hidupnya: mencari kamar sewa dan menemukan Marni-nya. Ketika sepatu ia pasang, ketika itu pula ia sayup-sayup mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid:

Innalillahi wainnailaihi rojiun, telah berpulang Ibu Marni Susanti Binti Surapto, istri dari Bapak Sanusi Bahar, pada pukul 03.15 dini hari tadi.”

Segera, ia butuh ritual kopi.

 

 

~HI, 24 Feb 15, Jap~

*penggalan dari kisah Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati oleh Agus Noor

#FF RABU: ULAR NAGA PANJANGNYA BUKAN KEPALANG

5

Ular naga panjangnya bukan kepalang

Berjalan-jalan selalu riang kemari

Umpan yang lezat inilah yang dicari

Inilah dia yang terbelakang

Barisan manusia bergerak melingkar kian kemari, sampai akhirnya lagu berhenti. Hap! Rere tertangkap.

“Siapa namamu?”

“Rere.”

“Usia?”

“23 tahun.”

“Bisa ceritakan ciri-cirimu?”

***

…Inilah dia yang terbelakang

Barisan manusia kembali bergerak sampai akhirnya lagu berhenti. Hap! Diana tertangkap.

“Namamu?”

“Diana, 18 tahun.”

“Bisa ceritakan ciri-cirimu?”

***

…Inilah dia yang terbelakang

Barisan melanjutkan bergerak melingkar. Hap! Carra tertangkap.

“Carra, 36 tahun.”

Lelaki berjas putih itu berdiri menuju pintu, meninggalkan wanita di depannya yang berpandangan kosong.

“Pak, silakan masuk. Bu Carra sudah kembali ke kepalanya!”

~HI, 2 Sep 2015, Ahmad Yani, Jayapura~

#FFRABU: PERTEMUAN TENGAH MALAM DI GELADAK SEPI

8

“Jangan melompat!” suara itu datang mencegahku.

“Jangan melompat!.” tegasnya. Aku menoleh, melihat wajahnya yang tak kukenal pasti.

“Kau siapa? Apa urusanmu?”

“Tidak ada tindakan lain selain mencegahmu. Membiarkanmu terjun ke laut, lalu mati dimakan hiu? Tidak berguna.”

“Kau tidak mengerti masalahku!”

“Aku tahu. Suamimu selingkuh!”

Aku terperanjat, orang tak kukenal tahu masalah rumah tanggaku, yang baru terbukti dengan mataku sendiri, semalam.

“Jangan terkejut! Aku ada kaitannya dengan ini. Turunlah. Biar kubantu.”

Aku menuruti. Sembari bercerita panjang, ia membimbingku menuju kabin.

“Tahu siapa selingkuhan suamimu?”

“Dia istriku!” lanjutnya, lalu memberiku satu pistolnya, sebelum kami mengetuk pintu, yang terdengar desahan dari dalamnya.

***

~ HI, Jayapura, 12 Aug 2015 ~